Karyaku


Cerpen:
Tanpa Alasan

Dokter Terdakwa Aborsi Disidang Rabu Depan
Siswa SMP Cabuli Teman Sebaya[1]
Guru Ngaji Nodai 7 Santri ABG[2]
Kakek Ganas, Paksa Tiga Balita
Mayat Bayi Ditemukan di Sungai[3]
Takut Suami, Istri Habisi Pria Selingkuhan[4]
                Dalam waktu singkat, Indonesia akan mengalami krisis moral tingkat tinggi. Degradasi Pancasila, nilai religius dan semua dianggap menjadi hal sepele yang tinggal membalikkan telapak tangan saja untuk mewujudkannya. Bagaimana mungkin itu bisa, ketika kerusakan moral digawangi anak di bawah umur dengan sebutan generasi penerus bangsa, hingga kakek-kakek yang seharusnya memikirkan amal perbuatannya hidup di dunia karena sebentar lagi akan meninggal dunia, tidak ada 100 tahun lagi.
                Minggu itu, minggu ketika beberapa sahabat baikku melangsungkan peribadahan di Gereja yang letaknya tidak jauh dari rumah kontrakan kami, sedangkan aku yang muslim, baru saja usai sholat dhuha di kamar yang aku tinggali sendiri.
                Satu persatu orang yang aku kenal, aku sapa, sekalian juga pagi itu aku ingin menikmati suasana Taman Kota yang katanya ramai. Setahun aku di tempat perantauan ini, aku memang tidak pernah ke Taman kota, apalagi minggu pagi. Pernah satu kali, itupun saat mengantarkan adik keponakanku membeli buku di Gramedia. Aku hanya 5 menit di pinggiran taman.
                Teringat akan koran-koran bekas yang aku baca tadi di rumah. Sebenarnya aku tidak berniat membaca, hanya mengumpulkan Koran-koran bekas yang mungkin bisa aku cairkan menjadi uang, daripada menggunung di sudut kamarku yang cukup sempit.
                Lewat di depanku seorang yang keluar dari dalam mobil. Ia berseragam rapi dan ada seseorang yang turun dari dalam mobil dan memanggil.
                “Dok.”
                Awalnya kau kira, ia memanggil dengan ‘dog’ yang berarti anjing, bukan ‘dok’ yang berarti dokter. Ku kira saja perempuan yang turun itu bercanda dengan suaminya atau rekan kerja. Aku tersenyum sendiri dan melanjutkan perjalanan.
                Dokter Terdakwa Aborsi Disidang Rabu Depan
                Sebuah judul yang melekat di otakku. Sebuah cerita di surat kabar, mengenai dokter yang mengaborsi beberapa perempuan di kota Pahlawan, Surabaya. Entah apa Dr Edward Armando, yang memimpin jalannya aborsi itu akan dianggap sebagai pahlawan atau pembunuh berdarah dingin. Aborsi, tetaplah perbuatan yang sangat terlarang, karena membunuh anak yang ada di dalam kandungan.
                Peristiwa moral lain, di surat kabar yang sama, di edisi yang sama. Iris membaca, ketika siswa SMP saja sudah mengenal yang namanya hubungan suami istri dengan tindakan nyata, ia mengajak hubungan terlarang itu dengan teman sebaya yang beda 1 tahun dengannya. Bahkan zina itu dilakukan 4 kali dan orang tua si korban yang akhirnya mengandus kejahatan itu.
                Aku tetap saja berjalan di tengah hangatnya mentari pagi, sembari melihat di trotoar jalan sana sebuah keluarga yang berbaju sangat rapi, membawa buku juga. Itu adalah Al Kitab dan aku melihat dari jauh, Gereja yang tampak anggun dengan bentuk yang menyerupai katedral di Jakarta.
                Melangkah lagi mataku, melihat dua insan bergandengan tangan yang akhirnya melewatiku. Aku berhenti sejenak melihat mereka berdua. Mereka tampak muda. Seumuran dengan adikku, Devi, di desaku sana yang baru lulus SMP. Aku pernah melihat anak laki-laki itu. Suatu waktu ia berseragam biru-putih. Mereka tertawa dan tidak ada rasa malu sama sekali, bercanda, tertawa lebar dan memanggil dengan sebutan yang sangat membuatku geli!
                “Papa…”
                “Mama…”
                Apalagi mereka belum melangsungkan pernikahan. Panggilan itu begitu aneh di telingaku.
                Guru Ngaji. Ingat akan guru ngajiku di desa bernama Kyai Hasan yang kini tergolek sakit di pembaringan di rumahnya. Ia adalah guru ngaji yang sepenuhnya menegakkan perintah Tuhan walau mungkin, Tuhan lebih tahu daripada aku yang tidak tahu apa-apa. Bagaimana tidak merasa sakit hati yang sangat, ketika Koran lama yang aku temukan tadi, tertulis dengan ukuran font yang besar, di halaman 5:
                Guru Ngaji Nodai 7 Santri ABG
                Bukan cuma anak muda, orang biasa saja yang melakukan perbuatan maksiat dengan larangan Tuhan yang hampir setiap hari berkumandang di Masjid setiap Jumat, belum lagi pengajian sebualan sekali yang diadakan di halaman Musholah samping kontrakanku. Semua itu tidak diindahkan lagi oleh orang yang ketika ditanya tentang keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan, mereka akan menjawab dengan gamblang, mereka layak masuk surga.
                Ini seorang Kyai. Orang yang mengerti agama, orang yang dianggap layak mati syahid dalam pandangan kemulyaan, orang yang setiap hari bergaul dengan Al Quran, menegakkan sunnah juga amal Ma’ruf Nahi Munkar. Tetapi judul dan cerita yang disuguhkan itu seolah mencoreng kaum intelek akan agama dan khususnya dunia Muslim yang sangat mengharamkan Zina.
                7 santri yang mendapat perlakuan amoral itu, dialasi sebagai salah satu ilmu yang harus dipatuhi santri-santrinya. Dalihnya, mereka akan diberi ilmu tenaga dalam dengan syarat, mereka harus memberikan keperawanannya. Untuk itu pula, santri-santri yang akan dijadikan ‘boneka nafsu’ manusia bejat itu mengaji hingga larut malam, bahkan sampai menginap. Ketujuh korban itu dibawah 18 tahun.
                Aksi bejat itu terendus dan menjadi busuk ketika salah seorang santri lelaki bernama Rois itu tidak bisa menyembunyikan kehamilan dari laki-laki yang akan menikahinya beberapa minggu lagi.
                “Sand.”
                Namaku terpanggil oleh sosok yang dari suaranya saja sangat khas. Begitu lembut nan menyegarkan. Aku menoleh dan lantas saja, mataku menemukan sosok Viana yang berjalan cepat untuk menyusulku.
                “Kemana?” Tanya ia dengan senyuman bahagia. Mungkin pagi itu ia menemukan sosok yang sangat ia sukai dalam beberapa bulan kami berkenalan.
                Ya. Dia adalah sosok gadis yang memberanikan diri mengajak merubah status hubungan kami yang lajang menjadi pacaran dua minggu lalu. Aku juga sangat suka pada dia, hanya saja, aku tidak akan bisa menerima ia sedini ini. Aku tahu sendiri, ketika aku memiliki masalah, tujuan utamaku di kota ini bisa saja akan musnah.
                Aku tolak ia dengan doa yang sengaja aku katakan pada dia di akhir kami bersama malam itu di kosnya:
                “Kalau kita masih bersama. Kamu dan aku saling kontak juga tidak ada yang mengikat kita. Aku akan melamarmu dan menikahimu ketika aku benar-benar yakin, aku bisa menafkahimu, benar-benar bisa kita hidup bersama salam satu perahu rumah tangga.”
                Terbayang akan peristiwa malam itu.
                “Aku ingin jalan-jalan. Cari minggu pagi di taman kota. Asyik ya, mungkin!”
                Ia berjalan sejajar denganku, kami berjalan bersama.
                “Lah kamu. Mau kemana?”
                “Gak ada. Niatku sih tadi mau beli lauk buat hari ini. Eh, ketemu kamu, karena aku masih belum lapar, aku ingin ngikuti kamu saja. Tidak apa-apa, kan?”
                “Ya gak papa. Kamu belum sarapan?”
                “Belum. Kamu?”
                “Sudah sih. Tapi mau ku antar makan?”
                “Enggak. Enggak usah. Nanti saja. Aku bisa tahan lima hari gak makan.”
                “Beneran?”
                “Tapi minumnya yang banyak.” Celutuknya. Kami tertawa dan tawa yang sama saat kita pertama bertemu setahun lalu.
                “Kalau gak makan tetap aja sakit perut.”
                “Friend. Kamu udah denger kabar Mitha?”
                “Mitha?” Tanyaku balik. Saat itu aku memikirkan tentang satu perempuan yang pada bulan lalu mengalami musibah. Anaknya menjadi korban pelampiasan nafsu seorang kakek yang bertetangga dengannya. Berita yang sama dengan yang aku baca tadi pagi. “Iya.”
                “Kenapa ya, peristiwa itu menimpa dia. Padahal dia orangnya baik, anaknya pintar dan apa gini sekarang moral orang Indonesia. gak peduli yang muda atau tua, semua kecanduan sex.” Ucapnya.
                Mitha yang kami maksud, adalah teman kami yang baru kami kenal di sebuah perkumpulan pecinta batik di Museum Batik tiga bulan lalu. Naas, ketika kami dikabari oleh teman kami yang lain. Mitha kena musibah, dengan anaknya yang baru 5 tahun. Kabarnya juga, kakek yang melakukan perbuatan bodoh itu hampir saja mati hangus kalau saja Polisi datang terlambat semenit saja.
                “Aku tahu. Aku sama Irfan mau ke desa Mitha. Tapi, kami terganjal peristiwa demo dan perbaikan struktur organisasi di kampus kita. Kami tidak ada waktu, karena saat itu, kuliah kita masih aktif, kan?”
                “Iya. Aku juga mau kesana, tapi tidak ada temannya. Tahu sendiri aku tidak pernah ke Madura. Bisa-bisa aku kesasar.”
                Tiba di sebuah perempatan jalan, kami akan menyabrang. Menunggu lampu merah di tempat itu, adalah menunggu kami kering dahulu. Semenit adalah waktu yang lama juga. Namun ketika kami akan menyabrang, ada ramai-ramai dengan orang beriringan melihat ke bawah sungai yang mengalir kotor di depan kami.
                “Ada apa?” Tanya Ana. Ia menarik lenganku dan kami melihat dari cukup dekat.
                “Subhanallah.” Ucapku. Kami melihat sesosok mayat bayi ada tersangkut sebuah ranting pohon besar yang melintang di sungai kecil samping jalan raya itu. Bayi itu ada dalam sebuah keranjang dari anyaman bambu, terlihat kaku, putih pucat dan masih lengkap dengan ari-ari.
                Ana menarikku dan ia rupanya tidka tega melihat itu, mulutnya ia bungkam serasa muntah, katanya. Kami melihat dari jauh dan tidka lama kemudian sirine Polisi mengaum-ngaum cepat-cepat. Mereka tiba dengan sangat terlambat. Satu nyawa tidak terselamatkan.
                “Mungkin itu dari hubungan yang tidak diinginkan.” Ucap Ana. Kami melanjutkan perjalanan dan sempat menunggu lampu merah 20 detik. Ada banyak pengendara mobil dan motor yang ingin melihat, namun dengan kebijakan, Polisi melarang dan hal itu tidak membuat minat orang-orang lalu lintas itu membunuh rasa ingin tahunya. Mereka memarkir di pinggir jalan, bahkan di Mall dekat taman untuk melihat.
                Untuk mengisi waktu kami di taman, aku membeli sebuah Koran pagi dari Surya. Uang yang aku punya minggu ini minim, namun aku tidak ingin kehilangan berita-berita penting setiap minggu, karena di kontrakan juga tidak ada Televisi.
                Aku membagi Koran menjadi dua bagian. Aku lebih tertarik untuk melihat kelompok halaman pertama, sedangkan Ana melihat info sepakbola yang memaparkan persiapan Peserta Piala Amerika Selatan yang mulai digelar esok pagi.
                Ada banyak berita tentang kejahatan, bom buku, teknologi dan di halaman 9, terbaca olehku:
                Takut Suami, Istri Habisi Pria Selingkuhan
                Warta yang berisi perselingkuhan yang terendus dan berakibat melayanglah seorang nyawa. Peristiwa terjadi di Sumenep dan pelakunya adalah orang yang sudah berkepala 3 dan empat. Aku pikir orang yang berusia sedewasa itu, juga berpikir dewasa dengan ancaman juga hal-hal yang akan berbuntut nantinya. Kenyataannya mereka tidak bisa berpikir normal dan peristiwa perselingkuhan, yang berujung kematian pria selingkuhan oleh suami perempuan dan perempuan itu sendiri.
                Dunia sudah gila. Keyakinan yang dulu tidak akan terjadi, kini lumrah saja terjadi, bahkan di setiap Koran yang aku beli, pasti ada berita yang berhubungan dengan kejahatan karena cemburu, selingkuh, perkosaan, hubungan terlarang dan hal-hal yang berujung kematian. Cinta. Itu yang sering aku dengar dari hubungan-hubungan terlarang. Kini masyarakat Indonesia lebih suka mengkoleksi video porno, mendengarkan desahan artis-artis tidak punya malu dari pada mendengarkan juga melakukan hal-hal yang diinstruksikan Al Quran, Al Kitab, Perintah Tuhan dan hal-hal yang membimbing kita pada kebaikan.
                Tanpa alasan Tuhan membeberkan rahasia besarnya mengirim kami, negeri ini segudang bencana agar kita berpikir dan beriman kembali ada di jalan-Nya. Namun, mungkin Tuhan bosan dengan kita, karena kami orang-orang yang keras kepala, tidak mempelajari pengalaman yang katanya guru terbaik kami.
                Mungkin di Indonesia dalam waktu dekat ini, sangat sulit ditemukan orang baik juga bernurani serta bermoral.
                Ku pandang sisi kiri kanan dalam lingkup Taman Kota yang memang rindang, penuh tumbuhan hijau serta memiliki dua gedung keamanan yang bagus. Kiri kanan yang aku temukan muda mudi yang duduk-duduk bahkan ada yang berlarian mengejar satu sama lain. Bahkan lebih dari satu pasangan anak yang telrihat masih dini bergandengan tangan, berkata mesra dengan wajah yang dekat serta memamerkan bentuk tubuh seolah hal itu yang membimbing mereka dalam surga.
                Kenyataan yang ada, Indonesia sekarang dan dalam dewasa ini sudah memusiumkan ajaran moral Pancasila juga agama.

Malang, 4 Juli 2011



[1] Surya. Minggu, 3 April 2011
[2] Surya. Sabtu, 26 Maret 2011
[3] Surya. Kamis, 24 Maret 2011
[4] Surya. Sabtu 2 Juli 2011




Muhammadiyah


(dari kumpulan cerpen 'Birthday' karya Toni Fradana)

            Entah mengapa setiap kali aku pulang, di sekitar rumah ada saja yang meninggal. Namun aku sama sekali tidak berpikiran bahwa akulah sang malaikat maut. Malaikat yang dinas pada Departemen Ketuhanan dan mempunyai tugas seperti itu, juga tidak akan seenaknya sendiri, tentu saja semua sesuai prosedur sang Mpu untuk mencabut orang-orang yang sudah waktunya berpamitan meninggalkan dunia. Andai saja aku seperti itu, mungkin Salman Rushdie, George Walter Bush dan Osama Bin Laden akan aku buru dan aku cabut paksa nan sakit nyawanya. Mungkin juga W.S Rendra, Abdurrahman Wahid juga nenek beserta kakekku akan aku hidupkan seribu tahun lagi[1]. Aku akan berdiskusi ulang rencana Tuhan yang akan mencabut Nelson Mandela dan Taufik Ismail.
            Aku melayat seperti biasanya karena bapakku yang berprofesi sebagai guru di SDku dulu masih belum pulang. Pikirku, beliau akan kebagian darusan[2] nanti di rumah duka. Toh nanti aku juga punya segudang rencana. Ke rumahnya Imam yang lama sekali tidak aku kunjungi, ke rumahnya Gita dan aku juga berencana ke night market, sebutan kami bertiga untuk pasar malam dan bersama mereka mencari segudang perlengkapanku kuliah di kota esok. Kenyataannya belanja night market lebih murah dari pada belanja di kota yang PPN saja 5-10%.
            Persiapan awal untuk beliau yang telah tiada bersukma, selesai. Ada tempat untuk memandikan jenazah di depan rumah, dipagari dengan kain hijau yang sekiranya, selain sanak saudara tidak dapat melihat ke dalam. Itu adalah kain yang aku beli dulu dengan Mas Dian saat awal pendirian Rukem di depan rumahku.
            Jenazah bernama Pakde Ismail. Dia orangnya baik, pengertian, ringan tangan dan sering juga beliau bertamu juga mengobrol dengan bapak saat bapak terlihat leyeh-leyeh atau bersantai di teras rumah. Beliau bahkan tidak segan kembali ke rumahnya yang jaraknya 30 meter dari rumah mengambil makanan ringan, bila ada. Bahkan dalam hatiku, berkali aku katakan tentang keramahan beliau. Dialah ciri manusia Indonesia sesungguhnya.
            Kami tinggal di kampung yang dinamakan Bulak Bendo dan kami mengikrarkan diri kami semua, bahwa kami adalah bersaudara. Kami sama, entah dari keyakinan, mayoritas pekerjaan tetangga yang 90% petani dan 9% pegawai negeri dan almarhum adalah sosok 1% dengan menasbihkan dirinya sebagai pebisnis yang sukses di kota kami. Satu hal lagi yang berbeda dari beliau, ketika beliau sangat terlihat sebagai orang Muhammadiyah.
            Kebanyakan dari kami disini mengikrarkan diri sebagai anggota dari organisasi Nahdlatul Ulama atau NU. 99 persen dari kami malahan. Semua itu tampak ketika musim Ramadhan tiba. Orang yang seumur dengan bapak itu lebih memilih pergi ke Masjid yang letaknya lebih jauh dari Masjid kami biasa sholat Jumat dan Idul Adha atau Fitri. Beliau dan anaknya, berbeda.
            Alasan demi alasan mulus ia lontarkan demi menghormati dan menghilangkan perbedaan dari kita. Memang, Masjid yang beliau kunjungi saat bulan Ramadhan, setiap habis sholat Tarawih dan Witir mengadakan semacam pengajian sekitar sejam, setelah itu baru di lanjutkan dengan mengaji Al Quran. Cara mengaji pun berbeda. Ketika kami kebanyakan menggunakan pengeras suara, mereka tartil dan membaca ayat suci dengan suara lirih, pelan dan terkesan meyakinkan. Buatku sendiri.
            Dia adalah sosok pembaharuan. Sering dalam rapat yang aku kadang menyusup untuk masuk, ingin tahu yang orang-orang dewasa debatkan, beliau adalah sosok pencetus ide baru. Rukem salah satunya. Beliau melihat dari desa mertuanya, katanya, bahwa disana dikelola semacam rukem untuk  mempermudah pelayanan ketika ada orang yang kepaten[3]. Sebelumnya, tidak ada di desa kami yang bernama rukem. Kematian juga diurus sendiri oleh keluarga duka dengan bantuan tetangga sekitar.
            Banyak hal yang ia sarankan demi terciptanya desa yang bukan kampung halamannya ini. Ia melihat ada kesempatan emas membudidayakan lele dan mujair, kesempatan juga untuk mendirikan semacam madrasah dan Taman Pendidikan Al Quran, karena yang paling dekat dari kampung kami berjarak 3 KM.
            Hal terakhir masih belum bisa disanggupi oleh kepala desa dan atasannya. Alasannya, terlalu besar proyek pembangunan masa depan itu.
            Ku lihat jenazah akan dimandikan. Aku melihat anak simata wayang beliau yang menangis dan coba tertahan dengan saudaranya mencoba menghibur. Kasihan anak itu, yang selalu menjadi harapan dan mahkota Paman Ismail. Dia juga sosok gadis yang memiliki kepribadian berbeda dari pada semua gadis yang ada di desa ini. Bahkan aku menyimpan ambisi agar bapak mau berbesanan dengan bapak Hevi. Bahkan aku rela meninggalkan pacarku yang sekampus denganku, karena aku sangat terpesona dengan semua yang ada pada sosok Hevi, si penyemangat Shalawat di Masjid itu.
            Ia menyandarkan kepalanya dengan air mata yang mengucur deras di pundak budhenya yang menikah dengan orang sini. Masalah organisasi, budhenya mengikuti arus sang suami yang NU.
            Secara gamblang dan berkali-kali aku ungkapkan dalam media juga forum, walau audiens hanya teman sekelas, bahwa kenapa harus ada NU dan Muhammadiyah. Desus yang ada, bahwa Islam juga terpecah menjadi banyak golongan. Serta itu, aku tidak ingin membedakan antara Muhammadiyah dengan NU karena sejatinya, semua sama. Kecuali Ahmadiyah yang aku dengar desus dari almarhum, bahwa mereka bukan ber-Rasul dan Ber-Nabi Muhammad SAW.
            Usai dimandikan, aku bergegas mengambil wudhu. Ingin aku mengantar beliau dengan sholat fardhu kifayyah[4] yang akan kami gelar beberapa menit lagi. Toh beliau juga orang yang baik hati, bersedia menjadi Imam ketika Embah laki-lakiku meninggal empat tahun lalu. Ku harap balas dendamku kali ini akan mengantrakan beliau dalam rahmat Allah yang setinggi-tingginya.
***
            Adat yang ada di kami, sanak keluarga berjalan 3 kali dibawah jasad beliau yang dipikul empat orang bergantian. Ada budhe Ilna, Hevi, adik Riski dan beberapa orang lagi. Aku tahu, dalam Muhammadiyah tidak ada aturan atau adat itu, namun Budhe Ilna mengisyaratkan harus ada itu dan Hevi serta adiknya mengikuti.
            Sampai sekarang aku masih belum tahu, bagaimana ibu Hevi atau istri Pakde Ismail. Katanya bekerja sebagai TKI di Malaysia, namun sampai detik ini bagaimana alur sebenarnya sangat kabur.
Sang bilal mengatakan ini itu yang intinya semua harus ikhlas dengan kepergian almarhum kembali pada Allah SWT. Guru ngajiku yang bernama Pak Hasan itu juga mengutip beberapa ayat dari Al Quran dan sunnah rasulullah. Ketika beliau berceramah itu, tambah sedih dan iba rasanya melihat Hevi. Timbul niat sejenak untuk memeluknya dan ucapkan “Sabar, semua dengan kamu.”
Beberapa menit kemudian, kami berangkat ke pemakaman. Beliau diiringi dengan banyak orang yang ikhlas mengantarkan untuk yang terakhir kali. Kami sampai disebuah pemakaman yang kakek dan nenekku ada disana. Sebelum menginjak proses akhir pemakaman itu, aku menyempatkan diri ke makam dua embahku, berdoa disana seperti ketika siang di malam jumat legi tiba.
Aku lihat pagar sederhana dari bambu yang keluargaku buat setahun lalu sudah usang dan ada yang menyingkirkannya dari sana. Aku berdiri menghadap dua kuburan embah yang sejajar. Ku bacakan Yasiin yang ada beberapa ayat aku sedikit lupa, namun aku harap saja Allah mau mendengar ketulusanku membacakan itu untuk keselamatan nenek kakek.
Usai berdoa, aku kembali ke tempat tadi ayah Hevi akan dimakamkan. Dilaksanakan beberapa adat yang aku tidak tahu, itu ada di tempatku saja atau di tempat lain juga ada. Membakar buah kelapa tanpa biji dan doa kembali di lantunkan oleh Pak Hasan.
Usai, kami pulang dan melihat rumah Hevi yang terlihat seperti duka. Aku bertemu dengan keluarga Hevi yang lain, baru datang dan aku sadar tadi tidak menunggu saudara-saudara itu datang dulu. Aku akhirnya pulang dan melihat motor bapak sudah ada di teras. Aku bergegas masuk dan ada ibuku yang mencegatku.
“Heh, kalau dari kuburan jangan masuk dulu. Kamu ke sungai!”
***
            Aku membasuh kaki dan tanganku juga merasakan dinginnya sungai kecil belakang rumahku membasuh muka dan inginku juga kalau sempat sholat dhuha, karena masa menunjukkan pukul 10. Aku masuk dan motor bapak yang tadi terparkir di teras sudah tiada. Aku juga tidak mendengar suara motor itu digunakan.
            Melihat ibu sedang mencuci baju di kamar kecil.
            “Bapak tadi pulang, kan?”
            “Iya. Rencananya mau melayat dan nganter ke pemakaman. Tapi bapakmu telat!”
            Tanpa aku jawab lagi aku bergegas masuk ke dalam kamar. Aku gelar sebuah sajadah panjang sembari aku mengganti celanaku dengan sarung dan baju putih nan baru. Aku iseng melihat pada luar. Ada sosok Adinda disana dengan dua temannya yang tidak aku kenal. Rupanya mereka akan melayat juga.
            “Ushalli  Sunnatadhuha rak ataini, lillahi taala. Allahu Akbar!”
***
            Aku membasuh mukaku usai sholat magrib dan memakai jaket model terbaru yang aku beli sebulan lalu dengan pacarku di kota. Baunya masih terasa bau distro dan ibuku terkesan sangat suka melihatku memakai jaket ini. Kusisipkan uang limapuluh ribuan satu dan seribuan tujuh. Sakuku terkesan tebal dan aku akan berpamitan.
            “Aku ingin…” Terlihat ada bapak yang duduk, mengambil rokok dari wadahnya. “Loh, bapak gak darusan?”
            “Darusan apa?”
            “Ya di rumah Hevi?”
            “Memang ada?”
            Pertanyaan bapak itu mengarahkanku pada sosok berkopyah Jawa dengan mbek-mbekan[5], terpajang di sebuah sudut tembok sekolah. Ialah bernama Ahmad Dahlan. Proklamator Muhammadiyah yang melekat status itu pada sosok Hevi dan keluarganya.
            Sembari menaiki motor menuju rumah Imam, aku berpikir dan sengaja aku memiih jalan Barat untuk memastikan bahwa rumah Hevi memang tidak ada yang darusan.
Benar saja, disana ada Hevi dan beberapa ibu-ibu. Entah merasa atau tidak, ketika aku lewat di depan rumahnya, Hevi melihat ke jalan. Mungkin ia tahu suara khas yang ditimbulkan dari kenalpot motorku yang butut.
            Sesampainya di rumah Imam, kami meneruskan perjalanan ke rumah Gita. Disana, gadis yang setiap harinya dipanggil Ines itu telah menunggu kami yang katanya sangat terlambat datang. Bagaimana datang tepat waktu, kami berdua sempat berdiskusi panjang soal Muhammadiyah dan NU di rumah Imam tadi, serta sedikit ketika perjalanan ke rumah Gita.
            “Beda antara Muhammadiyah dengan NU itu cukup banyak. Mereka tidak mau menyebut Nabi kita, Muhammad SAW dengan sebutan Sayyidina. Mereka juga tidak mengadakan tahlil saat ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia. Mereka juga kalau sholat cukup lambat, lebih lambat daripada kita. Ada juga hari raya yang kadang berbeda dari kita harinya, ada juga yang lainnya. Tapi intinya tetap saja kan, untuk kita bertakwa pada Allah.” Kobar Imam.
            Itulah penegasan dari Imam yang ia tujukan untukku. Namun ketika perjalanan, aku kembali dikejutkan dengan pernyataannya.
            “Tahlil sesudah ada sanak keluarga yang meninggal, memang tidak wajib. Tapi maksud kita, orang yang beda dari mereka, kita bisa saling dekat, rukun dan silaturahmi bertemu dalam forum tahlil seperti itu. Bukannya silaturahmi itu sangat dianjurkan untuk kita. Tidak tentu kita kumpul dalam satu desa seminggu sekali, atau bahkan sebulan sekali?” Lanjutnya. “Itu adalah salah satu ciri gimana wali sanga dulu bersusah payah dengan strategi mengumpulkan masyarakat desa dan terjadi silaturahmi di dalamnya.”
            Aku tersenyum dan ternyata perbedaan itu patut untuk kita hormati, karena setiap orang pastinya memiliki pendangan yang berbeda pada setiap masalah yang ada. Aku jadi ingin sekali lebih dekat dengan Hevi, walau mungkin sangat sulit menjelaskan bagaimanapun juga pada sosok pacarku di kota. Entah kenapa, walau dalam bayanganku, hal itu akan menimbulkan banyak masalah ketika kita nanti bisa hidup bersama.
            “Semoga kau diberi petunjuk!” Ucapku seketika setelah memikirkan banyak hal tadi.
            “Apa?”
            “Enggak.” Kataku tidak menyangka bila Imam menyahutku seperti itu.
***
            Seperti biasa di hari minggu. Usai sholat subuh, aku dan beberapa temanku yang kemarin bersamaku saat melayat dan mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir Pakde Ismail, lari-lari pagi mengelilingi desa, menggoda perempuan-perempuan desa yang umurnya lebih muda dari kami bahkan ada salah satu temanku yang sudah janjian untuk bersama dengan pilihan hatinya pagi itu.
            Praktis hanya aku yang diam, tidak melakukan apa-apa kecuali lari-lari kecil, melemaskan badan dan beban pikiran, namun tidak aku wujudkan dengan menggoda anak-anak SMA atau SMP yang lewat seperti temanku yang lain. Entahlah, namun masalah tadi malam mungkin jadi penyebabnya.
            Ketika aku dan temenku tadi akan berangkat, aku mendengar gosip dan ibu-ibu yang membeli sayur pagi itu membicarakan keluarga duka yang kemarin meninggal dunia. Mereka heran ketika tidak diadakan tahlil seperti biasanya. Secara umum, mereka tidak mengetahui benar bagaimana budaya dan tata cara sebuah paham yang berbeda dari kita. Mereka hanya tahu, bahwa keluarga Hevi adalah islam yang berbeda dari mereka dengan paham ikut Muhammadiyah, yang lebih mereka kenal dengan hari raya Fitri maupun kurban yang lebih cepat dari hari resmi dan NU dalam beberapa kesempatan.
            Bahan omongan itu booming hingga beberapa hari kedepan. Paling tidak mereka tidak membicarakan itu saat tidak ada budhe Ilna dan paling tidak ibuku yang menjadi guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Sukohardi ikut nimbrung disana.
            Perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan bangsa ini.
            Akupun melihat Hevi yang menyapu halaman rumahnya. Ia terlihat cukup tegar, walaupun rasa kehilangan sudah tampak jelas di raut wajahnya. Ingin aku memeluk dan hanya katakan:
            “Sabar Vi, aku akan selalu disini membantumu…!”
Malang, 1 Juli 2011



[1]              Aku – Chairil Anwar
[2]              Tahlil
[3]              Mengalami musibah. Konteks ini adalah ada sanak keluarga yang meninggal.
[4]              Sholat Wajib yang tidak mengharuskan semua orang menjalankan. Cukup beberapa orang saja dalam satu daerah melakukannya, kewajiban dianggap sah. Misalnya : Sholat Jenazah
[5]               Jenggot


 



 Puisi
Patah
Karya: Toni Fradana

Kamu tahu, saat bunga terpetik oleh manusia tak berbudi, munafik

ia menangis

Kau tahu bagaimana ia menangis?
Air matanya mengalir bersama doa yang terucapkan dengan
amin
di belakangnya

Bila bunga tersiksa
doa itu bagai mantra yang mendatangkan iblis dan setan dalam jemari
dan kau tahu bagaimana doa itu?

“… Lenyaplah kau biadab!!!
rambutmu kan jatuh terkulai dan patah
tulangmu, kan merapuh dan patah
bibirmu busuk laiknya sampah nuranimu yang telah patah
matamu hancur karena azab Tuhan dan patah
lidahmu terputus dengan darah yang mendidih dan patah penuh nanah
dan kau tahu akan hal itu?
akan bumi yang tak merestui matimu
akan surga kekal yang menghempaskanmu
neraka api yang tak jua padam karena shalawatmu
…”

Tuhan memang maha
namun tak bila denganmu!


Lumajang, 14 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan. Sesuai keinginan anda!
:-)